“DENGUNG vuvuzela yang mencekam Stadion Loftus Versfeld Pretoria seketika terkesiap! Wasit mengganjar kartu merah kiper tuan rumah Afrika Selatan (Afsel), Itumeleng Khune, plus penalti! Padahal saat itu tuan rumah sudah kalah 0-1 dari Uruguay!” ujar umar. “Betapa remuk hati penonton Afsel yang sejak lama mendamba sukses Bafana-Bafana di Piala Dunia 2010! Serentak mereka beranjak keluar stadion dengan tertib!”
“Kubayangkan saat itu apa yang terjadi jika kekecewaan masif penonton bola seperti itu terjadi di Indonesia?” sambut Amir. “Kekacauan bukan hanya terjadi dalam stadion, tapi meluas ke jalanan kota, bahkan kerusakan sepanjang jalur kereta api antarkota! Itulah yang sering terjadi!”
“Paling tidak seperti pada prakualifi kasi Piala Dunia lawan Oman di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, penonton marah turun ke lapangan merebut bola dan menggiringnya ke gawang lawan!
Pokoknya konyol!” tegas Umar. “Sedang di Afsel, 70 ribu lebih penonton yang putus asa atas nasib tim kebanggaannya, bisa menahan diri dan pulang ke rumah dengan tertib!”
“Maka itu, kita salut kepada warga Afsel, sebesar apa pun kekecewaan atas tim nasionalnya, atau kepada wasit, mereka tetap bisa mengendalikan emosi dengan tetap bersikap sportif!” tegas Umar.
“Kalau di Indonesia, selain penonton mengamuk, wasit yang memberi kartu merah kepada kiper itu dikerubuti dan ‘digotong’ pemain!”
“Alangkah baiknya kalau sikap penonton Afsel itu bisa kita teladani! Betapa pedih pun kenyataan dihadapi, kesabaran dan sikap mulia masih bisa tetap lebih dominan!” timpal Amir. “Hal itu tidak terlepas dari jasa bapak bangsanya, Nelson Mandela, yang telah berhasil menanamkan kepada bangsanya karakter sebuah bangsa besar! Apalagi cuma kemarahan akibat tim bolanya kalah, dendam terpendam tujuh turunan oleh penindasan kejam oleh kulit putih pun, bisa mereka maafkan secara tuntas lewat rekonsiliasi!”
“Tampaknya memang pemimpin besar yang ketulusannya diikuti segenap unsur bangsa seperti Mandela itu yang tidak kita miliki sekarang!” tukas Umar. “Mungkin karena kebanyakan pemimpin kita masih lebih mementingkan golongan, kaum, kelompok, atau malah pribadi dan keluarganya, warga bangsa ketiadaan karakter tulus dari pemimpinnya untuk diteladani! Seiring itu, ketegasan atas perilaku massa yang menyimpang kurang, termasuk secara hukum, sehingga terjadi pembiaran berlarut-larut! Maka yang hadir pun sebuah bangsa tunotulodo--minus teladan--massa pemberang yang liar dan ganas!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan anda untuk artikel ini tapi JANGAN coba-coba mengirimkan SPAM. Dan jangan lupa untuk mengklik iklan yang ada di blog ini agar blog ini terus berkembang menjadi lebih baik dan berkualitas...1 iklan yang anda klik akan sangat bermakna bagi kami...